BERITA SEPAKBOLA-Adalah ironis bahwa semakin lama saya tinggal di negeri bola dan bahkan sekarang bekerja untuk sebuah klub sepakbola yang masuk dalam jajaran elit persepakbolaan Inggris, semakin saya merasa kehilangan "roh" sepakbola itu sendiri.
Bohong kalau saya mengatakan tidak menikmati pengalaman memahami sejarah, tradisi dan kehidupan persepakbolaan di negeri ini. Bohong kalau saya mengatakan tidak menikmati hal-hal yang bersifat praktis seperti menonton bola langsung di stadion, bergaul dengan kelompok hooligan maupun penggemar sepakbola biasa, terlibat dalam kegiatan sepakbola walau hanya dalam jenjang amatir, ataupun terhisap dalam pusaran informasi tentang sepakbola -- hampir 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Semuanya terasa begitu memanjakan.
Dan tentu saja, sepakbola bukan dari kelas ecek-ecek. Saya juga tidak berbicara hanya terbatas untuk Inggris saja. Tetapi juga Eropa daratan. Tempat aspirasi pesepakbola dari seluruh penjuru dunia tumplek blek ditumpahkan.
Sebenarnya saya kelimpungan ketika ditanya, "apa yang sebenarnya yang anda maksudkan sebagai roh sepakbola itu?" Tetapi saya bisa bercerita untuk memberikan ilustrasi.
Sekitar empat minggu yang lalu saya mengikuti rapat tempat saya bekerja. Judul rapat kalau boleh saya merumuskan kira-kira adalah bagaimana cara membangun suporter dan bagaimana mengeksploitirnya. Dari judulnya saja saya sudah tidak sreg. Apalagi inisiator rapat dan pimpinan rapat datang dari bagian marketing/pemasaran.
Inti dari rapat adalah membangun strategi dengan menyinergikan semua potensi yang ada dalam klub untuk satu tujuan: mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi klub. Detilnya tentu saja rahasia dan tak bisa saya ungkap di sini.
Tetapi dari rapat itu saya mengerti bahwa pada dasarnya telah terjadi pergeseran mentalitas yang luar biasa terhadap apa yang disebut klub sepakbola itu: ia adalah sebuah perusahaan bisnis semata, yang kebetulan bidang usahanya adalah sepakbola. Ia, klub sepakbola, adalah sebuah merek dagang (brand). Ia menjual afinitas emosi lewat prestasi di lapangan hijau.
Sebetulnya ini bukanlah penemuan baru dan terjadi pada semua (terutama) klub besar di Eropa. Saya telah berulang kali menuliskan hal ini. Saya yakin para cendekiawan bola juga sudah tahu ini semua. Tetapi bagi saya pribadi, konfirmasi rahasia umum itu tetap saja mendatangkan syok tersendiri. Konfirmasi langsung dari isi perut dari sebuah klub sepakbola. Sehingga selama berhari-hari saya sampai latah ikut menyebut suporter sebagai pasar -- istilah yang dipergunakan oleh bagian marketing, dalam pembicaraan sehari-hari dengan rekan kerja yang lain.
Selama sebulan terakhir terus terang saya kesulitan melepaskan diri dari konteks pemahaman sepakbola sebagai murni perusahaan itu. Melihat pembangunan akademi sepakbola yang canggih yang dikatakan menyerap bakat-bakat lokal, saya melihat eksploitasi. Melihat perawatan stadion yang menyerap ribuan pekerja, saya melihat eksploitasi. Melihat pekerja kantor yang menjalankan kehidupan klub, saya melihat eksploitasi. Membayangkan menjadi juara Liga Primer, Liga Champions atau Piala FA, saya membayangkan eksploitasi. Membayangkan suporter memenuhi stadion, saya melihat eksploitasi yang berlipat-lipat. Saya melihat angka bukan manusia, suporter atau penonton sepakbola.
Saya tidak menafikkan adanya rasa kegembiraan, rasa kebersamaan, rasa untuk menunjukkan bahwa kelompok kami lebih hebat dari kelompok kalian, atau kecenderungan berbau tribalistik lainnya -- itu manusiawi, dan jangan lupa, saya juga seorang juga suporter sepakbola yang punya perasaan sama sehingga saya bisa mengerti. Hanya saja, sungguh rapat di tempat kerja saya itu sangat menganggu cara pandang saya dan memperkuat rasa antipati yang selama ini sudah tumbuh di hati saya.
Saya sempat menangkap buntut proses pelan tapi pasti tercerabutnya klub sepakbola dari jalinan kehidupan sosial di Inggris menjadi sebuah institusi yang terasing dari lingkungan tempat ia dilahirkan sejak Liga Primer dibentuk tahun 1992. Ketika klub sepakbola bermetamorfosa dari perekat kehidupan sosial menjadi institusi bisnis yang mengeksploitir lingkungan sosialnya sendiri. Ketika klub-klub Inggris mulai dibeli individu kaya raya dari luar Inggris dan diubah menjadi preposisi bisnis semata. Ketika saya memutuskan untuk tidak lagi terlalu serius mendukung klub pujaan saya.
"Pasar masa kini dan masa depan sepakbola adalah di Asia, kita harus berebut dengan klub lain," kata pemimpin rapat menutup rapat kami. "Tugas tim sepakbola adalah berjaya di lapangan, tugas kalian menyebarluaskan informasi dan merawat kedekatan pasar dengan klub, selebihnya adalah tugas kami untuk mengeksploitasi pasar."
Saya tersenyum mendengar apa yang disampaikan oleh pemimpin rapat tadi. Line manajer saya yang keturunan India dan duduk di sebelah saya juga tersenyum. Belakangan ia mengaku sebagai pendukung sebuah klub lain.
"Jangan salah, seluruh tenaga dan kemampuan, saya curahkan untuk kemajuan klub ini," katanya. Dan seperti bisa menebak jalan pikiran saya mengenai loyalitas ia menambahkan, "Praktis saja. Kalau perusahaan ini sukses, penghidupan kita juga akan sukses. Loyalitas klub adalah persoalan lain."
Ia mengajari saya, bukan hanya dalam menyikapi persoalan loyalitas tetapi tentang sepakbola pada umumnya. Tentang persoalan roh sosial dan bisnis dalam sepakbola.
"Sebutlah saya pragmatis, tetapi memang begitu. Sepakbola sudah beda dari zaman kita muda dulu. Sepakbola sekarang ya seperti ini. Baik atau buruknya tentu saja subyektif. Saya lebih suka mengatakan berbeda saja; konteks berbeda, dunia berbeda, kehidupan juga berbeda," katanya tenang.
"Jangan terlalu serius, hanya sepakbola. Nikmati saja. Yang boleh serius itu suporternya. Kalau merekanggak serius, kita nanti nggak hidup."
Bohong kalau saya mengatakan tidak menikmati pengalaman memahami sejarah, tradisi dan kehidupan persepakbolaan di negeri ini. Bohong kalau saya mengatakan tidak menikmati hal-hal yang bersifat praktis seperti menonton bola langsung di stadion, bergaul dengan kelompok hooligan maupun penggemar sepakbola biasa, terlibat dalam kegiatan sepakbola walau hanya dalam jenjang amatir, ataupun terhisap dalam pusaran informasi tentang sepakbola -- hampir 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Semuanya terasa begitu memanjakan.
Dan tentu saja, sepakbola bukan dari kelas ecek-ecek. Saya juga tidak berbicara hanya terbatas untuk Inggris saja. Tetapi juga Eropa daratan. Tempat aspirasi pesepakbola dari seluruh penjuru dunia tumplek blek ditumpahkan.
Sebenarnya saya kelimpungan ketika ditanya, "apa yang sebenarnya yang anda maksudkan sebagai roh sepakbola itu?" Tetapi saya bisa bercerita untuk memberikan ilustrasi.
Sekitar empat minggu yang lalu saya mengikuti rapat tempat saya bekerja. Judul rapat kalau boleh saya merumuskan kira-kira adalah bagaimana cara membangun suporter dan bagaimana mengeksploitirnya. Dari judulnya saja saya sudah tidak sreg. Apalagi inisiator rapat dan pimpinan rapat datang dari bagian marketing/pemasaran.
Inti dari rapat adalah membangun strategi dengan menyinergikan semua potensi yang ada dalam klub untuk satu tujuan: mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi klub. Detilnya tentu saja rahasia dan tak bisa saya ungkap di sini.
Tetapi dari rapat itu saya mengerti bahwa pada dasarnya telah terjadi pergeseran mentalitas yang luar biasa terhadap apa yang disebut klub sepakbola itu: ia adalah sebuah perusahaan bisnis semata, yang kebetulan bidang usahanya adalah sepakbola. Ia, klub sepakbola, adalah sebuah merek dagang (brand). Ia menjual afinitas emosi lewat prestasi di lapangan hijau.
Sebetulnya ini bukanlah penemuan baru dan terjadi pada semua (terutama) klub besar di Eropa. Saya telah berulang kali menuliskan hal ini. Saya yakin para cendekiawan bola juga sudah tahu ini semua. Tetapi bagi saya pribadi, konfirmasi rahasia umum itu tetap saja mendatangkan syok tersendiri. Konfirmasi langsung dari isi perut dari sebuah klub sepakbola. Sehingga selama berhari-hari saya sampai latah ikut menyebut suporter sebagai pasar -- istilah yang dipergunakan oleh bagian marketing, dalam pembicaraan sehari-hari dengan rekan kerja yang lain.
Selama sebulan terakhir terus terang saya kesulitan melepaskan diri dari konteks pemahaman sepakbola sebagai murni perusahaan itu. Melihat pembangunan akademi sepakbola yang canggih yang dikatakan menyerap bakat-bakat lokal, saya melihat eksploitasi. Melihat perawatan stadion yang menyerap ribuan pekerja, saya melihat eksploitasi. Melihat pekerja kantor yang menjalankan kehidupan klub, saya melihat eksploitasi. Membayangkan menjadi juara Liga Primer, Liga Champions atau Piala FA, saya membayangkan eksploitasi. Membayangkan suporter memenuhi stadion, saya melihat eksploitasi yang berlipat-lipat. Saya melihat angka bukan manusia, suporter atau penonton sepakbola.
Saya tidak menafikkan adanya rasa kegembiraan, rasa kebersamaan, rasa untuk menunjukkan bahwa kelompok kami lebih hebat dari kelompok kalian, atau kecenderungan berbau tribalistik lainnya -- itu manusiawi, dan jangan lupa, saya juga seorang juga suporter sepakbola yang punya perasaan sama sehingga saya bisa mengerti. Hanya saja, sungguh rapat di tempat kerja saya itu sangat menganggu cara pandang saya dan memperkuat rasa antipati yang selama ini sudah tumbuh di hati saya.
Saya sempat menangkap buntut proses pelan tapi pasti tercerabutnya klub sepakbola dari jalinan kehidupan sosial di Inggris menjadi sebuah institusi yang terasing dari lingkungan tempat ia dilahirkan sejak Liga Primer dibentuk tahun 1992. Ketika klub sepakbola bermetamorfosa dari perekat kehidupan sosial menjadi institusi bisnis yang mengeksploitir lingkungan sosialnya sendiri. Ketika klub-klub Inggris mulai dibeli individu kaya raya dari luar Inggris dan diubah menjadi preposisi bisnis semata. Ketika saya memutuskan untuk tidak lagi terlalu serius mendukung klub pujaan saya.
"Pasar masa kini dan masa depan sepakbola adalah di Asia, kita harus berebut dengan klub lain," kata pemimpin rapat menutup rapat kami. "Tugas tim sepakbola adalah berjaya di lapangan, tugas kalian menyebarluaskan informasi dan merawat kedekatan pasar dengan klub, selebihnya adalah tugas kami untuk mengeksploitasi pasar."
Saya tersenyum mendengar apa yang disampaikan oleh pemimpin rapat tadi. Line manajer saya yang keturunan India dan duduk di sebelah saya juga tersenyum. Belakangan ia mengaku sebagai pendukung sebuah klub lain.
"Jangan salah, seluruh tenaga dan kemampuan, saya curahkan untuk kemajuan klub ini," katanya. Dan seperti bisa menebak jalan pikiran saya mengenai loyalitas ia menambahkan, "Praktis saja. Kalau perusahaan ini sukses, penghidupan kita juga akan sukses. Loyalitas klub adalah persoalan lain."
Ia mengajari saya, bukan hanya dalam menyikapi persoalan loyalitas tetapi tentang sepakbola pada umumnya. Tentang persoalan roh sosial dan bisnis dalam sepakbola.
"Sebutlah saya pragmatis, tetapi memang begitu. Sepakbola sudah beda dari zaman kita muda dulu. Sepakbola sekarang ya seperti ini. Baik atau buruknya tentu saja subyektif. Saya lebih suka mengatakan berbeda saja; konteks berbeda, dunia berbeda, kehidupan juga berbeda," katanya tenang.
"Jangan terlalu serius, hanya sepakbola. Nikmati saja. Yang boleh serius itu suporternya. Kalau merekanggak serius, kita nanti nggak hidup."