Messi |
TIMNAS ARGENTINA - Ketika Lionel Messi mencetak gol ke gawang Bosnia Herzegovina pada pekan kemarin, mungkin saja ada penggemar sepakbola di luar sana yang berucap, "Nah, Lionel Messi ya begini ini!"
Bukan hanya sekadar bahwa gol tersebut amat-sangat Messi --menerima bola pantulan dari lini depan, lalu menggiring sampai mendekati kotak penalti, melewati satu orang pemain, dan menyelesaikannya dengan kaki favoritnya: kaki kiri--, tetapi juga gol itu seakan-akan meruntuhkan mitos dan stereotip mengenai Messi sendiri.
Sebagai seorang dewa di dunia sepakbola, Messi adalah dewa bercela dengan tudingan miring yang tidak mengenakkan, dan itu berkaitan dengan tim nasional Argentina. Kita tentu sudah tahu tudingan miring itu: Messi yang di Argentina adalah Messi yang buruk, bukan Messi di Barcelona yang serba gemerlap itu.
Performa Messi bersama 'Tim Tango' memang tidak selalu mengilap. Tapi, menjadikannya sebagai opini yang ajeg dan mengibaratkannya sebagai sesuatu yang absolut adalah sebuah ketidakadilan. Sebab, bukankah tidak ada yang benar-benar pasti di sepakbola? Fernando Torres yang begitu buruk di level klub saja bisa jadi top skorer Piala Eropa 2008 dan mengantar Spanyol menjadi juara. Aneh memang, tapi demikianlah adanya.
Tudingan miring tersebut sudah kadung melekat sebagai sesuatu yang klise, sebagai sebuah stereotip untuk Messi. Ada banyak hal-hal kejam dalam sepakbola, gol-gol di menit akhir yang membuat sebuah tim kalah atau batal meraih kemenangan adalah segelintir contoh. Tapi, stereotip ini bisa jadi tidak kalah kejam.
Stereotip akan membuat orang berpikir bahwa Messi tidak akan sampai mana-mana di Piala Dunia. Stereotip bisa membuat orang berucap, "Ah, sudahlah... Jagokan yang lain saja, jangan Argentina."
Mari kembali ke masa lalu sejenak, di mana ada waktu-waktu Spanyol belum dikenal sebagai negara luar biasa dalam sepakbola dan dianggap sebagai salah satu jagoan di turnamen besar.
Persoalannya sederhana; Spanyol yang dulu begitu luar biasa di babak kualifikasi, tapi langsung melempem begitu tampil di panggung besarnya. Di bawah arahan Javier Clemente, Spanyol melahap babak kualifikasi dengan delapan kemenangan dan dua hasil imbang --tidak pernah kalah. Mereka mencetak 26 gol dan hanya kebobolan 6.
Tapi, di Piala Dunia 1998, Spanyol keok. Setelah kalah 2-3 dari Nigeria di pertandingan pertama dan imbang 0-0 dan Paraguay, Spanyol tersudut. Mereka bergantung pada Nigeria untuk mengalahkan Paraguay supaya mereka bisa lolos.
Hasilnya? Nigeria malah kalah 1-3 dari Paraguay. Ini membuat kemenangan 6-1 yang diraih Spanyol atas Bulgaria di pertandingan terakhir jadi sia-sia. Kemenangan besar itu terlihat hanya jadi teriakan putus asa ketika kalah perang.
Di kualifikasi Piala Dunia 2002, Spanyol kembali tidak terkalahkan selama kualifikasi dan, kali ini, tampil impresif di fase grup panggung besarnya. Berada satu grup dengan Paraguay, Afrika Selatan, dan Slovenia, Spanyol melahap seluruh tiga pertandingan dengan kemenangan. Mereka lantas melaju sampai perempatfinal dan akhirnya kalah dari Korea Selatan lewat adu penalti.
Empat tahun berselang, di Piala Dunia 2006, Spanyol hanya melaju sampai babak 16 besar --di mana mereka dikalahkan Prancis 1-3. Hasil ini, ditambah fakta bahwa mereka tidak lolos dari fase grup pada Euro 2004, membuat Spanyol tidak terlalu dijagokan untuk menjuarai Euro 2008.
Tapi, Spanyol yang kala itu dibesut almarhum Luis Aragones, membalikkan peruntungan sendiri dan meruntuhkan stereotip yang sudah melekat di tubuh mereka. Kita kemudian mengenal Euro 2008 sebagai awal dari kekuasaan sepakbola Spanyol. Selama enam tahun, La Furia Roja menaklukkan tidak hanya Eropa, tetapi juga dunia.
Stereotip soal Spanyol juga hanya segelintir dari berbagai stereotip lainnya yang kerap muncul menjelang Piala Dunia atau turnamen-turnamen besar lainnya dihelat. Masih ada stereotip yang juga menyebut, tim-tim Eropa tidak akan berbicara banyak di Amerika Latin atau pemain yang tampil bagus atau luar biasa sepanjang musim bersama klubnya rawan tampil buruk di turnamen.
Stereotip yang terakhir itu, tentunya, bisa terbantahkan lewat aksi Luis Suarez dalam satu laga bersama Uruguay di Piala Dunia kali ini ataupun oleh penampilan Messi sendiri.
Dalam dua laga yang sudah dilakoni, Messi mampu menyumbang dua gol. Tapi, lebih dari itu, Messi mampu memperlihatkan ketenangan, bahkan ketika situasi sedang tidak menguntungkan tim sendiri.
Messi, yang sebelumnya terlihat lesu dan tidak bergairah pada beberapa bagian dari musim kemarin, kini terlihat kalem. Ketika Argentina kesulitan untuk membobol gawang Iran pada akhir pekan kemarin, tidak terlihat Messi yang tergesa-gesa untuk melepaskan tembakan sebanyak mungkin dan berharap salah satunya bakal menembus jala Alireza Haghighi.
Messi dengan tenang mundur agak ke dalam ketika para pemain Iran bertumpuk di sekitar kotak penalti mereka. Ketika kesempatan itu datang, Messi menggiring bola selangkah kecil demi selangkah kecil, membuka ruang tembak dengan bergerak ke kiri, lalu melepaskan tembakan ke arah sudut gawang. Gol, dan Argentina pun menang 1-0 berkat gol itu.
Messi kembali menunjukkan apa yang seharusnya di lakukan seorang pemain bintang; besar di sebuah panggung besar.
Messi seakan menghidupkan kembali apa yang diharapkan oleh para penonton dari seorang bintang. Mungkin saja, sekarang, tiap kali Messi membawa bola, para pendukung Argentina akan berdiri dari tempat duduknya, berharap sebuah keajaiban akan lahir dari kakinya.