Info Timnas U-19--Kita pasti punya ketahanan luar biasa dengan menjadi pendukung setia tim nasional sepakbola Indonesia.
Tidak cuma puasa gelar di level senior sejak 1991, tetapi juga sepanjang sepuluh tahun terakhir kita mengalami guncangan turbulensi yang hebat. Berganti-ganti kita mengalami naik turun dan pasang surut prestasi timnas. Berganti-ganti antara puncak euforia dan kekecewaan mendalam.
Kita mulai daftarnya. Euforia publik mengangkasa ketika Indonesia tampil perkasa pada fase grup Piala AFF 2004 di Vietnam. Pasukan Peter Withe tak terkalahkan dengan rekor gol yang mentereng. Sayangnya, Indonesia gagal merengkuh trofi kejuaraan. Saat itu, tim antara lain diperkuat Ilham Jayakesuma, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Boaz Solossa. Nama terakhir memulai debut pada 12 Oktober tahun yang sama dalam laga kualifikasi Piala Dunia melawan Arab Saudi dan memukau perhatian fans.
Euforia berikutnya kita rasakan ketika menghelat Piala Asia 2007 di kandang sendiri. Dengan persiapan panjang, antara lain dengan menghentikan kompetisi untuk sementara, pasukan Ivan Kolev membuka penampilan dengan kemenangan atas Bahrain. Indonesia gagal menciptakan kejutan serupa di dua laga tersisa menghadapi Arab Saudi dan Korea Selatan. Namun, antusiasme masyarakat sepanjang turnamen membuktikan jika timnas memiliki nilai yang luar biasa, baik dari segi sentimental maupun komersil.
Euforia 2007 tidak berlanjut setelah secara tragis Indonesia gagal melewati Suriah pada laga pra-kualifikasi Piala Dunia. Indonesia takluk 4-1 di Jakarta dan mengirimkan tim U-23 bertanding pada leg kedua di Damaskus. Antusiasme masyarakat pun kembali surut. Untuk sementara.
Piala AFF 2010 tidak hanya memberikan euforia yang luar biasa bagi sepakbola nasional, tetapi juga mengawali terciptanya dua sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana seharusnya kita mengelolanya.
Di bawah kendali pelatih Alfred Riedl, Indonesia tampil hebat di fase grup. Salah satunya dengan mengalahkan Thailand 2-1, lawan yang jarang sekali dikalahkan Indonesia di pentas internasional dalam dua dasawarsa terakhir. Di babak puncak Indonesia mengalami antiklimaks dengan menyerah kalah di kaki Malaysia.
Kita tidak belajar dari kekalahan tersebut. Malahan yang muncul adalah masalah pertikaian di level kepengurusan asosiasi yang kemudian bergeser kepada perdebatan fans. Dualisme tidak hanya terjadi di jajaran elite, tetapi juga di kalangan akar rumput.
Sabtu (12/10) tadi malam, atau tepat sembilan tahun setelah Boaz yang kini menjadi kapten timnas memulai debutnya untuk Indonesia, tim Indonesia U-19 kembali melontarkan euforia publik tinggi-tinggi. Kombinasi kekuatan fisik, keterampilan teknik, taktik Indra Sjafri, keteladanan Evan Dimas, dan faktor dukungan publik berhasil membawa Indonesia melengkapi gelar Piala AFF dengan tiket menuju Piala Asia tahun depan di Myanmar. Partisipasi terakhir Indonesia di Piala Asia U-19 terjadi di Malaysia 2004. Di ajang itu, Boaz mencetak dua gol dan dua pekan kemudian memulai debutnya. Mungkin bukan kebetulan jika siklus itu berulang sembilan tahun berselang.
Poin khusus untuk Evan Dimas. Sang kapten melesakkan hat-trick ke gawang Korea Selatan pada laga penentuan. Kita tidak ingat lagi kapan terakhir Indonesia mampu mengalahkan Korea Selatan di level senior dan siapa pemain Indonesia terakhir yang mampu mengemas tiga gol ke salah satu negara kuat sepakbola Asia itu. Di ajang Piala AFF, Evan juga mengemas hat-trick ketika mengalahkan Thailand. Prestasi itu bahkan tidak pernah dilakukan pemain Indonesia di level senior hampir sepanjang 40 tahun terakhir. Evan seperti tak lelah mencetak sejarah. Dengan kepemimpinan dan potensi yang dibuktikannya sebulan terakhir, Evan pantas mengorbit di level top sepakbola Asia.
Kita telah gagal belajar dari kekalahan, mungkin ini saatnya belajar dari kemenangan. Indra Sjafri menyusun tim dengan melakukan pemantauan serta penyaringan bakat ke berbagai pelosok tanah air. Hal yang memang sudah sewajarnya dilakukan, tetapi sayangnya belum termasuk menjadi bagian program PSSI. Posisi direktur teknik, kalaupun ada, belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Usai kemenangan yang membawa Indonesia ke ajang Piala Asia U-19, Indra Sjafri memasang target berikutnya, yaitu melangkah ke Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru. Persiapan menuju Piala Asia U-19 tahun depan sudah harus disusun. Vietnam, yang dikalahkan Indonesia di final Piala AFF, berencana menggelar latihan di markas Arsenal serta akademi JMG di Belgia beberapa bulan sebelum turnamen dimulai. Indonesia pun harus mulai bersiap.
Sebagai langkah awal, Indra Sjafri meminta agar dapat terus mempertahankan timnya saat ini dengan melakukan pembenahan materi yang diperlukan. Seiring dengan besarnya sorotan publik dan minat-minat klub meminang anak didiknya, ditambah desakan agar beberapa pemain naik jenjang ke level kelompok usia berikutnya atau bahkan diterjunkan sekaligus ke SEA Games, sang pelatih serta merta mengingatkan agar publik "membiarkan buah matang di pohonnya". Permintaan yang wajar dipenuhi karena bagaimanapun ini tim U-19 dan para pemainnya belum berada di usia emas kariernya.
Belum tentu pula materi pemain tim U-19 saat ini akan menjadi andalan timnas senior. Tidak ada jaminan 100 persen. Namun, pemegang kebijakan sepakbola nasional harus memberikan jaminan infrastruktur yang memadai. Jika dilihat pengembangan sepakbola usia dini di negara-negara maju selalu melibatkan klub sebagai salah satu mata rantai. Selain itu, ada pula wadah kompetisi di berbagai jenjang kelompok usia. Aspek pendidikan pemain muda tak luput menjadi perhatian. Kita tidak memiliki situasi yang ideal di Indonesia, tetapi dalam lingkup yang lebih luas kemenangan tim U-19 seharusnya menjadi nilai tawar mutlak bagi publik untuk terus mendesak agar PSSI memiliki program pengembangan piramida sepakbola yang mumpuni.
PSSI mesti menjamin sukses tim U-19 tidak hanya lewat sepintas dengan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi calon pemain di setiap penjuru Indonesia untuk mengembangkan potensi masing-masing. Kita mesti mengubah paradigma kalau pemain seperti Boaz Solossa dan Evan Dimas bukanlah berkah dari Tuhan untuk negeri ini, tetapi dicetak melalui tangan-tangan pelatih yang berwawasan tinggi. Banyak hal yang harus dibenahi PSSI, antara lain sistem yang ajeg, program kerja yang jelas, profesionalisme di jajaran pengurus asosiasi maupun klub, serta pelatihan untuk pelatih usia dini maupun wasit. Untuk melakukannya PSSI harus memanfaatkan sebaik mungkin persetujuan FIFA menjalankan Goal Project dan program Performance di negara ini. Dengan melakukannya, PSSI akan mengembalikan makna visi "sepakbola untuk rakyat" bukan semata-mata "sepakbola untuk tontonan rakyat".
Kita tidak boleh lagi berhenti.