Evan Dimas Darmono.(foto: Tarmuji Talmacsi/SINDO)
BERITA BOLA - Pertengahan Agustus 2013 atau sebelum
gelaran AFF U-19 Youth Championship 2013, Pelatih Timnas U-19 Indra
Sjafri mengumumkan hasil tes VO2 Max. Itu adalah kemampuan tubuh dalam
memroses O2 saat melakukan kegiatan intensif atau olahraga.
Dalam tes VO2 Max, kapten Evan Dimas mendapatkan 59 atau tertinggi di antara semua pemain Garuda Muda. Orang awam memandang VO2 Max hanyalah berhubungan dengan daya tahan tubuh dan ketahanan stamina pemain di lapangan. Tapi sebenarnya cakupannya sangat luas.
Evan Dimas bisa menjadi bukti dari teori di atas. Pemain berusia 18 tahun yang mencetak hattrick ke gawang Thailand ini memiliki stamina terbaik dan itu menjadi salah satu elemen dasar yang dibutuhkan untuk bermain stabil. Sebagai gelandang serang, dia tentu membutuhkan fisik prima.
Evan Dimas adalah pemain dengan mobilitas tinggi dengan daya jelajah hampir seluruh lapangan. Dia mencetak gol, mengumpan, mengambil tendangan sudut, hingga turun jauh ke pertahanan. Di sinilah peran VO2 Max berbicara, apalagi di empat laga AFF U-19 dia selalu menjadi starter.
Kualitas umpan, tendangan, ketenangan, serta konsentrasi, semuanya bermuara pada kondisi fisik. Tanpa fisik yang memadai sepanjang pertandingan, mustahil pemain seperti Evan Dimas bisa tetap mengatur serangan dengan baik. Faktanya, dia tetap stabil selama 90 menit dan bisa rileks mengeksekusi penalti di penghujung laga.
Tipikal permainan pengagum sosok Xavi Hernandez ini sampai disama-samakan dengan cara bermain Cesc Fabregas. Tidak mendewakan kecepatan, namun memiliki visi tajam. Pengambil keputusan yang brilian, dan yang tak kalah penting adalah kematangan. Tenang dan nyaman dalam
mengolah bola.
"Anak ini (Evan Dimas) sudah lebih matang dari umur yang sebenarnya. Itu yang membuat dia cukup stabil emosinya dan bisa menghadapi tekanan dengan tenang. Pemain seperti dia sangat langka karena memiliki kemampuan cukup komplet sebagai gelandang," ucap Mursyid Efendi, mantan pelatih Persebaya yang paham benar karakter Evan Dimas.
Ada benarnya juga. Indonesia masih miskin gelandang serangan dengan kemampuan komplit seperti tendangan akurat dan umpan cerdas. Indonesia masih terpaku pada anggapan bahwa gelandang serang adalah pemain dengan kecepatan tinggi, ngotot, dengan dribble mumpuni.
Pemain yang pernah menimba ilmu pada Pep Guardiola tersebut membuktikan bahwa intelejensi dan stamina menjadi unsur yang tak boleh diabaikan. Sangat kelihatan pemain seperti ini memiliki fantasi tinggi, kemampuan menyerap ilmu sekaligus menerapkannya di lapangan dengan gayanya sendiri.
Dengan usianya yang baru lulus SMA, sekarang tinggal bagaimana Evan terus mengembangkan diri, tetap berpijak ke bumi, sekaligus bimbingan positif dari orang-orang di sekitarnya. Dia sudah memiliki segala yang dibutuhkan pemain sepakbola muda dan tinggal beberapa langkah untuk menjadi pemain kebanggaan Indonesia.
Publik bola tanah air tentunya ingin melihat bagaimana kelanjutan kiprah Evan Dimas di AFF 2013. Semoga pemain yang sudah menjadi kapten sejak level U-17 tersebut bisa terus memberikan kontribusi positifnya, sekaligus memahami bahwa pencapaian tim tetap lebih utama dibanding pujian secara personal.
Dalam tes VO2 Max, kapten Evan Dimas mendapatkan 59 atau tertinggi di antara semua pemain Garuda Muda. Orang awam memandang VO2 Max hanyalah berhubungan dengan daya tahan tubuh dan ketahanan stamina pemain di lapangan. Tapi sebenarnya cakupannya sangat luas.
Evan Dimas bisa menjadi bukti dari teori di atas. Pemain berusia 18 tahun yang mencetak hattrick ke gawang Thailand ini memiliki stamina terbaik dan itu menjadi salah satu elemen dasar yang dibutuhkan untuk bermain stabil. Sebagai gelandang serang, dia tentu membutuhkan fisik prima.
Evan Dimas adalah pemain dengan mobilitas tinggi dengan daya jelajah hampir seluruh lapangan. Dia mencetak gol, mengumpan, mengambil tendangan sudut, hingga turun jauh ke pertahanan. Di sinilah peran VO2 Max berbicara, apalagi di empat laga AFF U-19 dia selalu menjadi starter.
Kualitas umpan, tendangan, ketenangan, serta konsentrasi, semuanya bermuara pada kondisi fisik. Tanpa fisik yang memadai sepanjang pertandingan, mustahil pemain seperti Evan Dimas bisa tetap mengatur serangan dengan baik. Faktanya, dia tetap stabil selama 90 menit dan bisa rileks mengeksekusi penalti di penghujung laga.
Tipikal permainan pengagum sosok Xavi Hernandez ini sampai disama-samakan dengan cara bermain Cesc Fabregas. Tidak mendewakan kecepatan, namun memiliki visi tajam. Pengambil keputusan yang brilian, dan yang tak kalah penting adalah kematangan. Tenang dan nyaman dalam
mengolah bola.
"Anak ini (Evan Dimas) sudah lebih matang dari umur yang sebenarnya. Itu yang membuat dia cukup stabil emosinya dan bisa menghadapi tekanan dengan tenang. Pemain seperti dia sangat langka karena memiliki kemampuan cukup komplet sebagai gelandang," ucap Mursyid Efendi, mantan pelatih Persebaya yang paham benar karakter Evan Dimas.
Ada benarnya juga. Indonesia masih miskin gelandang serangan dengan kemampuan komplit seperti tendangan akurat dan umpan cerdas. Indonesia masih terpaku pada anggapan bahwa gelandang serang adalah pemain dengan kecepatan tinggi, ngotot, dengan dribble mumpuni.
Pemain yang pernah menimba ilmu pada Pep Guardiola tersebut membuktikan bahwa intelejensi dan stamina menjadi unsur yang tak boleh diabaikan. Sangat kelihatan pemain seperti ini memiliki fantasi tinggi, kemampuan menyerap ilmu sekaligus menerapkannya di lapangan dengan gayanya sendiri.
Dengan usianya yang baru lulus SMA, sekarang tinggal bagaimana Evan terus mengembangkan diri, tetap berpijak ke bumi, sekaligus bimbingan positif dari orang-orang di sekitarnya. Dia sudah memiliki segala yang dibutuhkan pemain sepakbola muda dan tinggal beberapa langkah untuk menjadi pemain kebanggaan Indonesia.
Publik bola tanah air tentunya ingin melihat bagaimana kelanjutan kiprah Evan Dimas di AFF 2013. Semoga pemain yang sudah menjadi kapten sejak level U-17 tersebut bisa terus memberikan kontribusi positifnya, sekaligus memahami bahwa pencapaian tim tetap lebih utama dibanding pujian secara personal.