Info FIFA -- Menggugat atau mengganggu sebuah kedigdayaan adalah sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Lionel Messi yang agung itu pun tidak terkecuali. Lama jadi penguasa, kini dia jadi yang digugat.
Messi adalah Dewa. Jika Diego Maradona bisa sampai punya pengikut dan agama yang memuja-muja dirinya bernama Church of Maradona, mungkin Messi kelak akan mendapatkan perlakuan serupa. Mungkin satu kali Messi menggocek pemain lawan, bertambah satu pula pengikutnya. Satu kali dia membobol gawang, mungkin berlipat-lipat lagi bertambahnya.
Bagaimana Messi membawa Barcelona mencapai kejayaan dalam beberapa tahun terakhir sudah memukau banyak orang. Tidak perlu dibahas terlalu jauh. Secara kasat mata pun hasilnya kelihatan: deretan trofi yang dikumpulkan Barcelona dan setumpuk trofi Ballon d'Or yang dikuasai oleh Messi sendirian. Tidak dibagi satu kali pun ke pemain lain.
Silakan pendukung pemain lain menyalak, tapi Messi dan trofi Ballon d'Or tetap berlalu. Suka tidak suka, faktanya, banyak orang (dalam hal ini jurnalis, pelatih, dan kapten tim nasional) sudah jatuh dalam pemujaan seorang Lionel Messi.
Messi sebagai sebuah sosok memang terlihat sangat ideal untuk dipuja. Dia kalem, terlihat tidak banyak omong, tidak banyak tingkah pula. Segala hidupnya tampak hanya didedikasikan untuk sepakbola. Saking kalemnya, Messi sampai terlihat membosankan. Dia pernah bilang, kelak jika pensiun nanti, dia hanya ingin pulang ke kampung halamannya untuk hidup tenang.
Sikap serba santun Messi ini acapkali membuat objektivitas dan subjektivitas menjadi saru. Ingat bagaimana Presiden FIFA Sepp Blatter jatuh dalam kontroversi ketika membandingkan Messi dan Cristiano Ronaldo di Oxford Union beberapa waktu silam?
Ketika itu, Blatter menggambarkan Messi sebagai seorang anak baik-baik, sementara menggambarkan Ronaldo sebagai seorang yang lebih gemar memperhatikan gaya rambut. Tidak hanya itu, Blatter juga menirukan gerak-gerik Ronaldo yang kaku dan disebutnya mirip seorang Komandan militer.
Sebagai seorang pemimpin dari federasi sepakbola dunia, Blatter keblinger. Entah apa yang membuatnya menjadi lebih mengedepankan karakter, sifat, dan gaya untuk membandingkan dua pemain ketimbang membandingkan keduanya dalam hal, misalnya, statistik atau gaya main di lapangan.
FIFA yang dipimpin Blatter mau tidak mau ikut mempengaruhi penilaian itu juga. Mereka, meski secara tidak langsung, telah menanam kadar-kadar yang pantas dikedepankan untuk memilih seorang pemain terbaik. Tidak jarang kadar-kadar itu juga menyangkut citra. Mereka yang bercitra baik punya kans besar juga jadi yang terbaik.
Pada 2012 silam, penulis dan pemerhati sepakbola Spanyol, Sid Lowe, pernah berpendapat mengapa FIFA Ballon d'Or tidak sepenuhnya demokratis. Orang-orang memang bisa melihat siapa yang dipilih oleh para pelatih dan kapten tim nasional, tetapi mereka tidak menyertakan alasan, mengapa mereka memilih si A atau si B.
Iker Casillas, misalnya, dia memilih Ronaldo dan Mesut Oezil di atas Messi. Apakah dia sungguh-sungguh menilai Oezil di atas Messi? Entahlah. Sementara itu, Carlos Queiroz justru memilih Messi di atas Ronaldo. Pilihan ini kemudian membuatnya dikritik habis oleh para petinggi federasi sepakbola Portugal, mengingat Queiroz sendiri adalah orang Portugal.
Contoh lainnya adalah ketika kapten tim nasional Saint Lucia, Guy George, memilih Messi sebagai nomor 1, tapi mengosongkan pilihan kedua dan ketiga. "Messi, Ronaldo, dan Xavi muncul di hampir semua pilihan. Hampir semua, tapi tidak semuanya," kata Lowe.
Value atau nilai santun dalam menentukan seorang atlet yang terbaik atau tidak sesungguhnya tidak salah. Seorang Zinedine Zidane saja bisa gagal jadi Pemain Terbaik di Piala Dunia 1998 lantaran mendapatkan satu kartu merah di turnamen itu.
Tapi, jadi hal yang menyakitkan ketika mereka yang tidak kalah berprestasinya di lapangan kalah telak oleh nilai-nilai ini. Di sinilah kemudian statistik dan prestasi di lapangan jadi argumen yang melawan.
Statistik dan pencapaian di lapangan bisa jadi tolok ukur paling masuk akal untuk membandingkan pemain mana yang layak menyandang predikat "Terbaik di Dunia". Ambil contoh perdebatan antara Messi dan Ronaldo itu. Tidak akan habis membandingkan keduanya, mulai dari soal siapa yang paling tangguh di lapangan, siapa yang paling komplet kemampuannya, sampai siapa yang paling halus cara mencetak golnya. Toh, pada akhirnya, hanya ada satu kesimpulan yang pasti --dan juga abstrak: Messi dan Ronaldo sama-sama pemain hebat.
Maka, jangan heran kalau kemudian soal-soal seperti trofi yang dimenangi bersama klub sampai siapa yang golnya paling banyak dalam satu tahun masuk dalam penilaian banyak orang. Menariknya, dengan menambahkan penilaian seperti ini, siapa pemain terbaik jadi tidak melulu Messi ataupun Ronaldo.
Muncullah kemudian nama Franck Ribery. Ribery memang tidak se-luar biasa Messi dan Ronaldo dalam urusan mencetak gol, tidak hebat pula dalam urusan komersialisasi di luar lapangan. Tapi, Ribery memenangi trofi lebih banyak daripada Messi dan Ronaldo pada 2013. Dialah salah satu alasan mengapa Bayern Munich bisa meraih treble.
Tidak mengherankan jika Ribery jadi salah satu simbol dari penggugatan Messi. Mulai banyak orang yang berpendapat bahwa sudah saatnya ada pemain di luar Messi yang keluar sebagai pemenang. Ribery sendiri, pada beberapa kesempatan, berani bersuara dengan mengatakan dia layak untuk meraih Ballon d'Or tahun ini.
Ronaldo, di sisi lain, tidak mau kalah. Setelah bertahun-tahun hanya jadi nomor dua atau nomor tiga, belakangan dia unjuk gigi. Sepanjang 2013, sampai akhir November silam, dia sudah mencetak 67 gol sepanjang 2013 untuk klub dan negaranya. Jumlah itu sudah mengungguli jumlah gol Ribery dan Messi sepanjang tahun ini.
Sejauh ini ada 23 nama yang diunggulkan untuk menjadi meraih Ballon d'Or tahun ini. Pada 9 Desember 2013 jumlah 23 itu akan mengerucut menjadi tiga, dan dari tiga itulah nanti satu akan dipilih untuk jadi pemenang.
Berbagai catatan yang ditorehkan oleh Ribery dan Ronaldo itu jadi senjata mereka untuk meruntuhkan pesona Messi. Boleh jadi keduanya berharap, catatan-catatan itu cukup untuk memengaruhi para jurnalis, pelatih, dan kapten tim nasional untuk memilih mereka. Namun, bagaimana jika gagal juga? Ya, apa boleh buat. Mungkin pesona Messi terlalu hebat.
Iker Casillas, misalnya, dia memilih Ronaldo dan Mesut Oezil di atas Messi. Apakah dia sungguh-sungguh menilai Oezil di atas Messi? Entahlah. Sementara itu, Carlos Queiroz justru memilih Messi di atas Ronaldo. Pilihan ini kemudian membuatnya dikritik habis oleh para petinggi federasi sepakbola Portugal, mengingat Queiroz sendiri adalah orang Portugal.
Contoh lainnya adalah ketika kapten tim nasional Saint Lucia, Guy George, memilih Messi sebagai nomor 1, tapi mengosongkan pilihan kedua dan ketiga. "Messi, Ronaldo, dan Xavi muncul di hampir semua pilihan. Hampir semua, tapi tidak semuanya," kata Lowe.
Value atau nilai santun dalam menentukan seorang atlet yang terbaik atau tidak sesungguhnya tidak salah. Seorang Zinedine Zidane saja bisa gagal jadi Pemain Terbaik di Piala Dunia 1998 lantaran mendapatkan satu kartu merah di turnamen itu.
Tapi, jadi hal yang menyakitkan ketika mereka yang tidak kalah berprestasinya di lapangan kalah telak oleh nilai-nilai ini. Di sinilah kemudian statistik dan prestasi di lapangan jadi argumen yang melawan.
Statistik dan pencapaian di lapangan bisa jadi tolok ukur paling masuk akal untuk membandingkan pemain mana yang layak menyandang predikat "Terbaik di Dunia". Ambil contoh perdebatan antara Messi dan Ronaldo itu. Tidak akan habis membandingkan keduanya, mulai dari soal siapa yang paling tangguh di lapangan, siapa yang paling komplet kemampuannya, sampai siapa yang paling halus cara mencetak golnya. Toh, pada akhirnya, hanya ada satu kesimpulan yang pasti --dan juga abstrak: Messi dan Ronaldo sama-sama pemain hebat.
Maka, jangan heran kalau kemudian soal-soal seperti trofi yang dimenangi bersama klub sampai siapa yang golnya paling banyak dalam satu tahun masuk dalam penilaian banyak orang. Menariknya, dengan menambahkan penilaian seperti ini, siapa pemain terbaik jadi tidak melulu Messi ataupun Ronaldo.
Muncullah kemudian nama Franck Ribery. Ribery memang tidak se-luar biasa Messi dan Ronaldo dalam urusan mencetak gol, tidak hebat pula dalam urusan komersialisasi di luar lapangan. Tapi, Ribery memenangi trofi lebih banyak daripada Messi dan Ronaldo pada 2013. Dialah salah satu alasan mengapa Bayern Munich bisa meraih treble.
Tidak mengherankan jika Ribery jadi salah satu simbol dari penggugatan Messi. Mulai banyak orang yang berpendapat bahwa sudah saatnya ada pemain di luar Messi yang keluar sebagai pemenang. Ribery sendiri, pada beberapa kesempatan, berani bersuara dengan mengatakan dia layak untuk meraih Ballon d'Or tahun ini.
Ronaldo, di sisi lain, tidak mau kalah. Setelah bertahun-tahun hanya jadi nomor dua atau nomor tiga, belakangan dia unjuk gigi. Sepanjang 2013, sampai akhir November silam, dia sudah mencetak 67 gol sepanjang 2013 untuk klub dan negaranya. Jumlah itu sudah mengungguli jumlah gol Ribery dan Messi sepanjang tahun ini.
Sejauh ini ada 23 nama yang diunggulkan untuk menjadi meraih Ballon d'Or tahun ini. Pada 9 Desember 2013 jumlah 23 itu akan mengerucut menjadi tiga, dan dari tiga itulah nanti satu akan dipilih untuk jadi pemenang.
Berbagai catatan yang ditorehkan oleh Ribery dan Ronaldo itu jadi senjata mereka untuk meruntuhkan pesona Messi. Boleh jadi keduanya berharap, catatan-catatan itu cukup untuk memengaruhi para jurnalis, pelatih, dan kapten tim nasional untuk memilih mereka. Namun, bagaimana jika gagal juga? Ya, apa boleh buat. Mungkin pesona Messi terlalu hebat.