Evan Dimas |
Timnas Indonesia - Pengalaman adalah guru terbaik, apalagi pengalaman pahit. Seorang remaja bernama Evan Dimas Darmono, ingat betul itu.
Memikul beban berat agar tampil menawan untuk memenuhi target semifinal Piala Asia U-19 di Myanmar, Evan gagal. Begitu kalah 0-1 oleh Australia di pertandingan kedua babak grup, langkah Indonesia dipastikan kandas.
Tidak peduli lagi bahwa dirinya kapten tim, bintang tim, pemain asal Surabaya ini tak kuasa membendung air mata. Beban itu, tanggung jawab itu, terasa menyakitkan di dada setiap penggawa timnas U-19, tak terkecuali bagi Evan Dimas.
Tidak adil memang. Usianya belum juga genap 20 tahun, tapi kepercayaan pecinta sepakbola di tanah air yang rata-rata usianya lebih tua darinya—seperti kita—terlalu besar untuk dipikul Evan. Ibarat kita menyerahkan tanggung jawab seorang kakak yang selalu gagal, namun kemudian memaksakan sang adik untuk berhasil.
Kita yang tidak pernah mampu memberi contoh yang baik melalui kompetisi dalam negeri maupun prestasi tim nasional senior, kita yang hanya tahunya mengritik ini-itu-ini-itu, dan kini kita hendak menumpahkan kegagalan kita sendiri di atas pundaknya kemudian mengatakan bahwa ini semua adalah kegagalannya. Maka pertanyaannya; pantaskah kita.
Untungnya, beberapa bulan kemudian, “sang kakak” memanggil “sang adik” untuk bermain bersama. Pelatih tim nasional senior, Alfred Riedl memastikan Evan termasuk pemain yang diboyong timnas di Piala AFF 2014 . Sebuah anugerah bagi remaja kelahiran 13 Maret 1995 ini. Bermain bersama idola-idolanya di masa kecil, Evan menyadari sesuatu, kegagalannya di timnas U-19 bukanlah beban, namun merupakan sebuah pelajaran berharga yang bakal—semakin—mendewasakan dirinya.
Kedewasaaan yang lebih daripada rekan-rekan seusianya sudah ia buktikan dalam dua hal. Pertama, Evan jadi satu-satunya alumni pemain timnas U-19 yang dipercaya memperkuat tim senior—ini menunjukkan mentalitasnya sebagai seorang pemain profesional sudah teruji, paling tidak di mata Riedl